Sabtu, Agustus 15, 2009

Melihat Calon Istri Sebelum Khitbah

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah ra beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Ketika salah satu dari kalian melakukan khitbah terhadap seorang perempuan, kemudian memungkinkan baginya untuk melihat apa yang menjadi alasan baginya untuk menikahinya, maka lakukanlah". Hadist ini sahih dan mempunyai riwayat lain yang menguatkannya.

Ulama empat madzhab dan mayoritas ulama menyatakan bahwa seorang lelaki yang berkhitbah kepada seorang perempuan disunnahkan untuk melihatnya atau menemuinya sebelum melakukan khitbah secara resmi. Rasulullah saw telah mengizinkan itu dan menyarankannya dan tidak disyaratkan untuk meminta izin kepada perempuan yang bersangkutan. Landasan untuk itu adalah hadits sahih riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra berkata: ”Aku pernah bersama Rasulullah saw lalu datanglah seorang lelaki, menceritakan bahwa ia menikahi seorang perempuan dari kaum anshar, lalu Rasulullah saw menanyakan "Sudahkan anda melihatnya?" lelaki itu menjawab "Belum". "Pergilah dan lihatlah dia" kata Rasulullah saw ,karena pada mata kaum anshar (terkadang ) ada sesuatunya".

Para Ulama sepakat bahwa melihat perempuan dengan tujuan khitbah tidak harus mendapatkan izin perempuan tersebut, bahkan diperbolehkan tanpa sepengetahuan perempuan yang bersangkutan. Bahkan diperboleh berulang-ulang untuk meyakinkan diri sebelum melangkah berkhitbah. Ini karena Rasulullah s.a.w. dalam hadist di atas memberikan izin secara mutlak dan tidak memberikan batasan. selain itu, perempuan juga kebanyakan malu kalau diberitahu bahwa dirinya akan dikhitbah oleh seseorang.

Begitu juga kalau diberitahu terkadang bisa menyebabkan kekecewaan di pihak perempuan, misalnya pihak lelaki telah melihat perempuan yang bersangkutan dan memebritahunya akan niat menikahinya, namun karena satu dan lain hal pihak lelaki membatalkan, padahal pihak perempuan sudah mengharapkan.Maka para ulama mengatakan, sebaiknya melihat calon isteri dilakukan sebelum khitbah resmi, sehingga kalau ada pembatalan tidak ada yang merasa dirugikan. Lain halnya membatalkan setelah khitbah kadang menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.Persyaratan diperbolehkan melihat adalah dengan tanpa khalwat (berduaan saja) dan tanpa bersentuhan karena itu tidak diperlukan. Bagi perempuan juga diperbolehkan melihat lelaki yang mengkhitbahinya sebelum memutuskan menerima atau menolak.

Batasan yang diperbolehkan lelaki melihat perempuan yang ditaksir sebelum khitbah menurut sebagian besar ulama yaitu boleh melihat wajah dan telapak tangan. Bagi perempuan yang akan menerima khitbah disunnahkan untuk menghias dirinya agar kelihatan cantik. Imam Ahmad berkata: "Ketika seorang lelaki berkhitbah kepada seorang perempuan, maka hendaklah ia bertanya tentang kecantikannya dulu, kalau dipuji baru tanyakan tentang agamanya, sehingga kalau ia membatalkan karena alasan agama. Kalau ia menanyakan agamanya dulu, lalu kecantikannya maka ketika ia membatalkan adalah karena kecantikannya dan bukan agamanya. (Ini kurang bijak).

Sumber:pesantrenvirtual

Jumat, Agustus 14, 2009

Mencintai Allah swt

Setiap muslim yang beriman tentunya menyadari kewajibannya untuk mencintai Allah swt. Dengan bertakwa kepada Allah swt, otomatis ia akan berpegang teguh dan istiqomah pada Allah swt. Semakin ia dekat dengan Allah dan menjalankan kewajibannya, maka ia akan semakin mencintai Allah swt. Karena ia menjadikan Allah swt dan segala perintah-Nya, sebagai prioritas utama dalam kehidupannya. Sehingga cintanya kepada Allah swt adalah yang utama, melebihi cinta kepada manusia termasuk kepada orangtua, suami/istri, anak-anak, dan lain-lain. Allah swt berfirman, yang artinya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa, bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya”.( QS. Al-Baqarah: 165)

Jika seseorang mencintai sesamanya lebih tinggi derajatnya daripada cinta kepada Allah swt, maka ia sama sama saja telah berbuat zalim. Padahal Allah swt telah memberi peringatan dalam surat At-Taubah ayat 24: “Katakanlah, "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan -Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan -Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Sesungguhnya ada banyak cara untuk mencintai Allah swt dan menggapai cinta-Nya. Seperti yang berikut ini:
• Mendekatkan diri kepada Allah swt (taqarub) dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah setelah melakukan ibadah-ibadah fardhu. Jika orang yang beriman mencintai Allah dengan mengerjakan ibadah-ibadah fardhu dengan sempurna, maka dengan menambahkan ibadah-ibadah sunnah ia akan dapat menggapai cinta-Nya. ibadah-ibadah sunnah yang dikerjakan antara lain sholat-sholat sunnah, puasa sunnah, sedekah, dan amalan-amalan sunnah dalam Haji dan Umrah.

• Membaca Al Quran adalah cara untuk mencintai Allah, karena di dalamnya terdapat kalamullah-kalamullah yang sangat suci. Tidak hanya dibaca, tetapi juga dipahami, direnungi, dimengerti, serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

• Cinta kepada Allah swt berarti selalu ingat kepada-Nya. Berdzikir di dalam hati, di dalam lisan, bahkan di setiap tingkah laku. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah aza wajalla berfirman :"Aku bersama hambaKu,s elama ia mengingatKu dan kedua bibirnya bergerak (untuk berdzikir) kepadaKu".
• Berusaha untuk mencintai Allah swt melebihi dirinya sendiri dan orang lain, dengan berusaha lebih mengenal-Nya, mengetahui dan memahami nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.

• Selalu bersyukut akan nikmat yang didapat. Karena hanya Allah swt lah Sang Pemberi nikmat bagi hamba-hamba-Nya. setiap nikmat yang diberikan adalah bukti kebesaran-Nya. dan beryukur kepada-Nya akan mengantarkan kepada rasa cinta yang mendalam kepada-Nya.

• Menyendiri bersama Allah ketika Dia turun. Kapankan itu? Yaitu saat sepertiga terakhir malam. Di saat itulah Allah s.w.t. turun ke dunia dan di saat itulah saat yang paling berharga bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan melaksanakan sholat malam agar mendapatkan cinta Allah.

• Bergaul dengan orang-orang yang mencintai Allah, maka iapun akan mendapatkan cinta Allah swt. Selain itu juga mengenal dan mencintai mereka yang dicintai oleh Allah swt, yaitu para Rasul, para anbiyya, para aulia, hamba-hamba Allah yang jujur, para syuhada, serta hamba-hamba Allah yang shaleh.

Saat kita sudah begitu mencintai allah swt, kita sangat merindukan perjumpaan dengan-Nya. dan dalam kehidupan seharihari, sangat senang menikmati ibadah dengan khusyuk dan bertaqarub kepada-Nya. Firman Allah swt: “Katakanlah: "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Ali Imran: 31)

Kamis, Agustus 13, 2009

Adab Bertamu Dalam Islam

Perkara ini sepertinya sepele, namun jika tidak diamalkan maka bisa dibilang akan menyimpang dari hukum/syariat agama. Untuk itulah Islam mengatur adab-adab ketika bertamu. Diantaranya mengucap salam kepada pemilik rumah, memilih waktu untuk bertamu, menjaga pandangan, dan lai-lain.

Memperbaiki Niat
Tidak bisa dipungkiri bahwa niat merupakan landasan dasar dalam setiap amalan. Hendaklah setiap muslim yang akan bertamu, selain untuk menunaikan hajatnya, juga ia niatkan untuk menyambung silaturahim dan mempererat ukhuwah. Sehingga tidak ada satu amalan pun yang ia perbuat melainkan berguna bagi agama dan dunianya. Tentang niat ini Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat dan setiap orang tergantung pada apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnul-Mubarak berkata :
“Betapa amal kecil diperbesar oleh niatnya dan betapa amal besar diperkecil oleh niatnya” (Jaami’ul-Ulum wal-Hikam halaman 17 – Daarul-Hadits).

Memberitahukan Perihal Kedatangannya (untuk Minta Ijin) Sebelum Bertamu
Adab ini sangat penting untuk diperhatikan. Mengapa ? Karena tidak setiap waktu setiap muslim itu siap menerima tamu. Barangkali ia punya keperluan/hajat yang harus ditunaikan sehingga ia tidak bisa ditemui. Atau barangkali ia dalam keadaan sempit sehingga ia tidak bisa menjamu tamu sebagaimana dianjurkan oleh syari’at. Betapa banyak manusia yang tidak bisa menolak seorang tamu apabila si tamu telah mengetuk pintu dan mengucapkan salam padahal ia punya hajat yang hendak ia tunaikan. Allah swt telah memberikan kemudahan kepada kita berupa sarana-sarana komunikasi (surat, telepon, sms, dan yang lainnya) yang bisa kita gunakan untuk melaksanakan adab ini.

Menentukan Awal dan Akhir Waktu Bertamu
Adab ini sebagai alat kendali dalam mengefisienkan waktu bertamu. Tidak mungkin seluruh waktu hanya habis untuk bertamu dan melayani tamu. Setiap aktifitas selalu dibatasi oleh aktifitas lainnya, baik bagi yang bertamu maupun yang ditamui (tuan rumah). Apabila memang keperluannya telah usai, maka hendaknya ia segera berpamitan pulang sehingga waktu tidak terbuang sia-sia dan tidak memberatkan tuan rumah dalam pelayanan.

Rasulullah saw bersabda : “Apabila salah seorang diantara kamu telah selesai dari maksud bepergiannya, maka hendaklah ia segera kembali menuju keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berwajah Ceria dan Bertutur Kata Lembut dan Baik Ketika Bertemu
Wajah muram dan tutur kata kasar adalah perangai yang tidak disenangi oleh setiap jiwa yang menemuinya. Allah swt telah memerintahkan untuk bersikap lemah lembut, baik dalam hiasan rona wajah maupun tutur kata kepada setiap bani Adam, dan lebih khusus lagi terhadap orang-orang yang beriman. Allah swt telah berfirman : “Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman” (QS. Al-Hijr : 88).

Rasulullah saw bersabda : “Janganlah sekali-kali kamu meremehkan sedikitpun dari kebaikan-kebaikan, meskipun hanya kamu menjumpai saudaramu dengan muka manis/ceria” (HR. Muslim).

Selain berwajah ceria dan bertutur kata lembut, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah hendaklah ia berkata baik dan benar. Rasulullah saw dengan tegas telah memberi peringatan : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw menggandengkan kata iman dengan pilihan antara berbicara baik atau diam. Mafhumnya, jika seseorang tidak mengambil dua pilihan ini, maka ia dikatakan tidak beriman (dalam arti : tidak sempurna imannya). Hukum asal dari perbuatan adalah diam. Kalaupun ia ingin berkata, maka ia harus berkata dengan kata-kata yang baik. Sungguh rugi jika seseorang bertamu dan bermajelis dengan mengambil perkataan sia-sia lagi dosa seperti ghibah, namimah (adu domba), dan lainnya yang tidak menambah apapun dalam timbangan akhirat kelak kecuali dosa. Rasulullah saw bersabda : ‘Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata, ia tidak menyangka bahwa ucapannya menyebabkan ia tergelincir di neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tidak Sering Bertamu
Mengatur frekwensi bertamu sesuai dengan kebutuhan dapat menimbulkan kerinduan dan kasih sayang. Hal itu merupakan sikap pertengahan antara terlalu sering dan terlalu jarang. Terlalu sering menyebabkan kebosanan. Sebaliknya, terlalu jarang mengakibatkan putusnya hubungan silaturahim dan kekeluargaan.

Dianjurkan Membawa Sesuatu Sebagai Hadiah
Memberi hadiah termasuk amal kebaikan yang dianjurkan. Sikap saling memberi hadiah dapat menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang, karena pada dasarnya jiwa senang pada pemberian. Rasulullah saw bersabda : “Berilah hadiah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai” (HR. Bukhari)

Tidak Boleh Seorang Laki-Laki Bertamu kepada Seorang Wanita yang Suaminya atau Mahramnya Tidak Ada di Rumah
Rasulullah saw sangat keras menekankan pelarangan ini sebagaimana sabda beliau :
“Janganlah sekali-kali menjumpai wanita”. Maka seorang laki-laki dari kaum Anshar bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan Al-Hamwu?”. Beliau menjawab : “Al-Hamwu adalah maut” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Al-Baghawi dalam menerangkan hadits ini mengatakan : Al-Hamwu jamaknya Ahma’ yaitu keluarga laki-laki dari pihak suami dan keluarga perempuan dari pihak istri. Dan yang dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki suami (ipar) sebab dia bukan mahram bagi istri. Dan bila yang dimaukan adalah ayah suami sedang ayah suami adalah mahram, maka bagaimana lagi dengan yang bukan mahram ?

Tentang kalimat “Al-Hamwu adalah maut”; Ibnul-‘Arabi berkata : “Ini adalah kalimat yang diucapkan oleh orang Arab, sama dengan ungkapan : Serigala adalah maut. Artinya, bertemu serigala sama dengan bertemu maut”.

Janganlah Sombong

Sombong adalah salah satu penyakit hati yang sangat membahayakan. Manusia sangat rentan terkena sifat ini, oleh karena itulah kita harus berhati-hati. Manusia yang hidup di dunia ini dengan kesombongannya, maka kelak ia tidak akan masuk surga. Seperti sabda Rasulullah saw: ”Tidak akan masuk surga siapa yang didalam hatinya ada kesombongan walau seberat debu.” (HR. Muslim). Alah swt tidak menyukai orang yang sombong, bahkan mengharamkannya. Orang yang sombong berarti ia juga takabur, merasa dirinyalah yang paling hebat dan sempurna. Padahal hanya Allah swt yang memiliki keagungan sempurna, dan makhluk hanya sekedar menerima kemurahan-Nya.

Ciri-ciri penyakit sombong biasanya sangat terlihat jelas dari penampilan orang yang mengidapnya. Setiap ucapan dan tingkah lakunya, nada suara dan senyum sinisnya, selalu menunjukkan keangkuhan. Nauzubillahi mindzalik…

Pantaskah sebenarnya orang bersikap sombong, jika seluruh kebaikan pada dirinya semata-mata hanya berkat kemurahan Allah swt kepadanya? Padahal jika Allah menghendaki, dia bisa terlahir sebagai (maaf) orang yang penuh dengan kekurangan. Tentu saja saat tidak ada lagi yang dapat disombongkan. Kita begitu rendah dan lemah dihadapan Allah swt.

Maka kita harus hati-hati mengahadapi penyakit hati ini. Langkah hati-hati ini bisa diawali dengan mengenali ciri-ciri kesombongan tersebut. Rasulullah saw bersabda: ”Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia.” (HR. Muslim). Jika dalam hati kita ada satu atau kedua-duanya, maka kita akan masuk ke dalam deretan orang-orang sombong.

Bagaimana cara menghindari dari sikap sombong?
>Kita perlu mengetahui dan memahami ilmunya; apa dan bagaimana sombong itu, serta bahaya yang ditimbulkanya. Sadarilah, sifat sombong tidak disukai manusia, dan di akhirat mendapat siksa.
>Menyadari kelemahan dan keterbatasan diri sebagai manusia.
>Berlatih untuk berlapang dada menerima kebenaran dari siapa pun.
>Berlatih untuk rendah hati dan tidak memandang rendah orang lain. Di hadapan Allah swt semua orang sama, yang membedakan hanya ketakwaan.
>Senantiasa berdoa agar kita dijauhkan dari kesombongan.

Sebagai manusia biasa, terkadang suka timbul di hati rasa sombong tanpa kita sadari. Oleh karena itu, sebaiknya lekas-lekaslah mengucap istighfar memohon ampunan Allah swt.

Rabu, Agustus 12, 2009

Perintah Islam Untuk Menundukkan Pandangan dari yang Haram

Dalil dari Al Quran

Allah berfirman : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya” (QS. An-Nuur : 30-31).

Ibnu Katsir berkata : “Ini adalah perintah dari Allah ’azza wa jalla kepada hamba-hamba-Nya mukminin untuk menundukkan pandangan-pandangan mereka dari perkara-perkara yang diharamkan bagi mereka. Mereka tidak memandang kecuali pada apa yang diperbolehkan bagi mereka dan untuk menundukkan pandangan dari yang diharamkan, apabila kebetulan memandang kepada yang haram tanpa disengaja maka langsung memalingkan pandangannya secepat mungkin”


Al-’Allamah Ibnul-Qayyim berkata :”Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam agar memerintahkan kaum mukminin untuk menundukkan pandangan mereka, menjaga kemaluan mereka, dan memberitahukan kepada mereka bahwa Allah menyaksikan amal-amal mereka. Allah swt berfirman : ”Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati” (QS. Ghaafir : 19).


Dalil Dari Hadits


Dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
”Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dari pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Mak beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim)

Dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Wahai ‘Ali, janganlah kamu mengikutkan pandangan dengan pandangan. Sesungguhnya bagimu hanyalah pandangan yang pertama, dan bukan yang setelahnya”.(HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda :
”Telah dituliskan atas Bani Adam bagian dari zina yang pasti ia melakukannya, tidak bisa tidak. Maka, zina kedua mata adalah melihat (yang diharamkan), zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan), zina lisan adalah berkata-kata (yang diharamkan), zina tangan adalah memegang (yang diharamkan), zina kaki adalah melangkah (ke tempat yang diharamkan), hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya”.(HR. Bukhari dan Muslim)


Dari ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam membonceng Al-Fadhl bin ’Abbas di belakang beliau ketika haji, kemudian datang seorang wanita dari Khats’am yang meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memalingkan kepala Al-Fadhl agar tidak melihat kepada wanita tersebut. Maka paman beliau – Al-’Abbas – berkata kepada beliau : ”Engkau memalingkan kepala anak paman engkau, wahai Rasululah ?”. Maka beliau menjawab : ”Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tidak merasa aman dari syaithan terhadap mereka berdua.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)